Thursday, July 10, 2008

DATA AKURAT .... MUNGKINKAH ?

Para pemerhati pendidikan yang budiman,

Beberapa waktu yang lalu kami disibukkan dengan berbagai keluhan para guru tentang tunjangan atau insentif. Mereka merasa sudah mengusulkan dan "seharusnya" dapat tunjangan atau insentif tersebut. Ketika mengalami kekecewaan memang seringkali diiringi dengan pesatnya opini terlahirkan. Namun rasanya kurang efektif apabila kita "bersuhudon ria dan mencari kambing hitam" (maaf sudah terlalu banyak kambing hitam di negara kita). Ada variabel yang menarik untuk kita jadikan bahan diskusi, yaitu : BAGAIMANA KEAKURATAN DATANYA ?

Kalau kita betul – betul meresapi, akan terasa betapa penting dan sulitnya memperoleh data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebagus apapun mesin perencanaan, tetapi kalau bahan bakunya berupa data ternyata tidak akurat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, akan melahirkan program yang kurang sesuai, program yang salah sasaran, program yang ujung – ujungnya yang penting ter SPJ kan. Lalu ada persoalan apa dalam sistem pendataan kita ? Bagaimana mengatasinya ?

Pertama, kita membutuhkan komitmen yang kuat dari para pengambil kebijakan untuk memberikan perhatian yang besar dalam hal pendataan khususnya di bidang pendidikan.

Sering kita mendengar para pengambil kebijakan yang mengatakan :”Data itu penting”, namun sering pula hal itu belum diikuti dengan langkah – langkah nyata dalam memberi perhatian yang positif terhadap proses pendataan. Ada kalanya terjadi peningkatan perhatian pada proses pendataan, namun seringkali hal itu terjadi karena data yang dibutuhkan berhubungan langsung dengan proyek atau program. Tampaknya kita lebih banyak menemukan para penikmat data daripada para pemerhati data. Di sisi lain, masih kita jumpai kondisi “tidak berkenan” atau “alergi” para pengambil kebijakan terhadap data merah, atau data yang berkonotasi turun, atau negatif, meskipun sebenarnya data tersebut riel atau nyata. Alhasil akhirnya data menyesuaikan pesanan pengambil kebijakan yang takut bila dikatakan gagal.

Kedua, kita perlu melakukan reorientasi pendataan dengan melakukan penguatan proses pendataan di tingkat bawah serta tingkat akar rumput (grass root).

Data yang ada di pemerintah pusat entah itu BAPPENAS, Balitbang atau yang lain, tentunya merupakan data yang telah diproses di tingkat bawah sampai dengan tingkat akar rumput (grass root). Kita butuh bahan baku data yang akurat dari tingkat bawah maupun tingkat akar rumput (grass root). Kalau bahan bakunya sudah tidak baik maka sebagus apapun SDM maupun teknologi pendataan di tingkat pusat, tidak akan menghasilkan data yang sesuai harapan. Selama ini penguatan proses pendataan justru lebih terfokus pada level atas dan menengah.

Di tingkat bawah dan akar rumput (grass root), pekerjaan pendataan bukan pilihan yang menarik karena tidak menghasilkan dampak finansial yang menguntungkan. Bahkan bidang pendataan kadangkala merupakan tempat penampungan bagi karyawan yang bermasalah. Di sisi lain dari tingkat atas bertubi – tubi meminta data dengan berbagai format dan selalu diiringi dengan kata “SEGERA dan HARUS JADI, You know !” Alhasil proses pendataan dijalankan hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban. Ditempuhlah fotokopi dan tipex ganti tahun, dan akhirnya “dengkul” yang maju, bak iklan TV “jalan pintas dianggap pantas” Oleh karena itu jika ingin baik, berikan perhatian yang besar pada proses pendataan di tingkat bawah dan akar rumput (grass root). Baik dalam bentuk pengembangan SDM, pendanaan maupun teknologi pendataan.

Ketiga, kita tingkatkan budaya menghargai data.

Hal – hal yang sederhana, seperti menuliskan sumber data sebagai bentuk penghargaan kepada pembuat data pada saat membuat karya tulis, tampaknya masih belum menjadi kebiasaan (habit) apalagi sebagai budaya. Wilayah plagiat lebih cepat berkembang daripada wilayah budaya menghargai data. Orang – orang yang dengan sabar menekuni data sering dibuat frustasi oleh petualang – petualang yang asal main comot data. Apabila kita hati – hati dalam memberikan data pada orang lain seringkali berbuah stempel “dianggap tidak kooperatif”

Di sisi lain harus pula kita akui bahwa proses pendataan khususnya bidang pendidikan bukanlah berhenti di tempat. Kita pantas untuk bersyukur bahwa proses pendataan khususnya bidang pendidikan, masih terus berjalan (meskipun tertatih - tatih). Yang perlu kita jawab adalah seberapa cepat dan akurat data yang mampu kita berikan. Ketiga hal tersebut di atas, menurut hemat kami dapat kita jadikan alternatif untuk mengatasi persoalan pendataan. Ketiga alternatif tersebut akan lebih sempurna apabila diikuti dengan process of being willing to listen from each other – proses kebersamaan untuk saling mendengar satu sama lain.

Salam pendidikan.

Tuesday, July 8, 2008

PENCITRAAN PUBLIK PADA FIGUR KEPALA SEKOLAH


Para pemerhati pendidikan yang budiman,

Harus kita akui bahwa kepala sekolah merupakan tokoh sentral dari sebuah kisah yang bertajuk sekolah. Rasanya, baik buruknya sekolah berada di tangan SANG KEPALA SEKOLAH. Jika ada murid berantem, maka pertanyaan selanjutnya : Gimana sih kepala sekolahnya ?. Jika ada beberapa siswa ternyata tidak lulus, maka di belakang berkembang kasak - kusuk : Kepala sekolahnya nggak becus sih... Jika ada iuran sekolah yang memang dibutuhkan untuk peningkatan mutu pendidikan, maka beredar berita :" Wah kepala sekolahnya mencari uang untuk persiapan pensiun, ya". Namun jika ada siswa yang berprestasi nasional ataupun internasional, ternyata pujian dan acungan jempol tidak selalu tertuju kepada SANG KEPALA SEKOLAH.

Banyak teori yang membahas parameter kinerja kepala sekolah, apakah dilihat dari managemennya, leadershipnya ataupun output sekolahnya.
Parameter kinerja kepala sekolah tersebut kebanyakan hanya dapat dipahami secara maksimal oleh mereka yang dekat dengan wilayah pendidikan. Orang - orang yang berada jauh dari wilayah pendidikan rasanya sulit untuk memahami parameter - parameter tersebut, apalagi masyarakat pada umumnya. Alhasil masyarakat pada umumnya memahami parameter kinerja kepala sekolah berdasarkan ukuran yang gamblang dimengerti, seperti banyak sedikitnya yang tidak lulus, banyaknya bangunan fisik yang berhasil dibangun, serta banyak sedikitnya rumor yang beredar tentang kepala sekolah tersebut. Rasanya memang tidak adil apabila kinerja kepala sekolah hanya dilihat dari parameter yang katanya gamblang tersebut, namun memang itu yang bisa dipahami mereka.

Terlepas dari itu semua, para kepala sekolah tampaknya harus lebih berhati - hati dalam mengelola sekolahnya. Dari ujung kaki sampai ujung rambut, senantiasa dipantau masyarakat. Sambil terus mengkomunikasikan apa sebenarnya parameter kinerja kepala sekolah, para kepala sekolah perlu menyiapkan perangkat early warning system disekolahnya, supaya figur kepala sekolah senantiasa tercitrakan positif dimata publik. Program - program yang dipakai publik untuk mengukur kinerja kepala sekolah (seperti UAN dsb) perlu lebih diperhatikan.

Salam pendidikan.